Kajian rutin Jum’at malam, 19 September 2025, di Masjid Jami’ Abdurrahman As-Sanad bersama Ustadz Abdul Halim, S.Pd, dengan pembahasan Jihad fi Sabilillah.
Poin penyampaian dalam kajian:
3 Tanda Kebahagiaan Seorang Hamba
Ibnu Qoyim rahimahullah menyebutkan tiga tanda kebahagiaan seorang hamba Allah Ta’ala:
- Bersyukur saat mendapat nikmat
Ketika mendapatkan rezeki atau kebaikan, ia segera bersyukur dan memanfaatkan nikmat tersebut untuk semakin mendekat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. - Bersabar saat mendapat ujian
Saat menghadapi cobaan, ia tetap teguh dalam kesabaran dan ketaatan. - Segera bertobat ketika berbuat dosa
Apabila terjerumus dalam dosa dan maksiat, ia bersegera bertaubat dan memperbaiki diri.
Bila seseorang dimudahkan melakukan tiga hal ini, insya Allah itu tanda kebahagiaan seorang hamba. Cara terbaik untuk meraih syukur dan sabar adalah dengan bersungguh-sungguh dalam menjalankan ajaran Islam secara menyeluruh (kaffah).
Jihad fi Sabilillah
Sebelum masuk ke pembahasan jihad, ada beberapa hal pendahuluan yang penting diperhatikan.
1. Sikap terhadap syariat jihad
Syariat jihad mempunyai kedudukan yang sama seperti syariat lain (shalat, zakat, puasa, dsb.). Mengingkari kewajiban jihad, sebagaimana mengingkari kewajiban shalat, termasuk perkara serius yang bisa mengeluarkan seseorang dari Islam.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, dalam karya beliau 10 Pembatal Keislaman, menyampaikan: siapa pun yang membenci (mengingkari) atau menolak bagian dari syariat yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun ia tetap melaksanakan amalan tersebut, maka ia telah kafir.
Penting untuk diperhatikan bahwa terdapat perbedaan antara mengingkari syariat dan enggan melaksanakannya karena malas atau alasan lain. Sebagai contoh:
- Mengingkari: misalnya seseorang berkata, “Jilbab tidak wajib,” meski ia sendiri mengenakannya —apalagi bila tidak. Ucapan itu berarti menolak ketentuan Allah dan mengeluarkannya dari Islam. Ia wajib bertaubat dan kembali mengucapkan dua kalimat syahadat.
- Enggan melaksanakan: misalnya seseorang mengetahui berjilbab itu wajib, tetapi tidak mau melaksanakannya. Ketidakpatuhannya untuk menjalankan syariat Allah merupakan perbuatan dosa, namun tidak membatalkan keislamannya.
2. Jihad adalah bagian dari Syariat yang berlaku hingga akhir zaman
Jihad termasuk ajaran Islam yang tetap berlaku sampai hari kiamat. Sama seperti ibadah lain, jihad diatur dengan syarat dan ketentuan tertentu. Melaksanakannya tanpa memahami ketentuan hanya akan membawa penyimpangan dan menimbulkan fitnah.
3. Jihad sebagai jalan kemuliaan
Ada ungkapan: “laa izzata illa bil-jihad” — tidak ada kemuliaan kecuali dengan jihad (kesungguhan). Maksudnya, umat Islam akan mulia jika bersungguh-sungguh menegakkan agama, baik melalui dakwah ilmu maupun kekuatan untuk mempertahankannya.
Terdapat ungkapan yang masyhur (terkenal): “laa izzata illa bil-jihad” — tidak ada kemuliaan (izzah) kecuali dengan kesungguhan (jihad). Maksudnya: kemuliaan umat Islam dalam kedudukan, pengaruh, dan kekuatan kaum muslimin; berasal dari kesungguhan dalam berjuang menegakkan syariat agama dalam kehidupan; dalam dakwah ilmu dan kesiapan untuk membela agama Allah subhanahu wa ta’ala.
Definisi Jihad
Secara bahasa (lughowi): dari kata جِهَاداً – يُجَاهِدُ -جَاهَدَ (jahada-yujahidu-jihada) — berarti kekuatan usaha, bersungguh-sungguh, dan bersusah payah. Makna bahasa ini netral dan mencakup seluruh hal, terlepas dari baik-buruk yang dilakukan.
Secara istilah – umum, menurut Ibnu Taimiyyah: Jihad adalah mencurahkan kemampuan untuk meraih yang diridhai Allah dan menolak yang dibenci-Nya.
Secara istilah – khusus: berperang melawan orang kafir yang memerangi kaum Muslim. Adapun terhadap orang kafir yang bermuamalah dengan baik kepada kaum Muslim, kita tetap harus berlaku baik: dalam urusan muamalah; namun tidak dalam hal ibadah dan aqidah.
Hukum Jihad
Dalam Minhajul Muslim disebutkan, hukum asal jihad dalam makna yang khusus, adalah fardhu kifayah — jika sebagian kaum Muslim telah menunaikannya, gugurlah kewajiban bagi yang lain.
Namun hukum ini dapat berubah menjadi fardhu ‘ain (wajib bagi setiap individu) bila terjadi salah satu dari tiga keadaan berikut:
- Sudah berhadapan langsung dengan musuh atau pihak yang melakukan kekerasan.
- Dalam kondisi peperangan dan telah diperintahkan oleh pemimpin.
- Musuh menguasai wilayah kaum Muslimin.
Contoh saat ini adalah kondisi di negara Palestina. Dalam keadaan seperti itu, jihad menjadi fardhu ‘ain bagi kaum muslimin yang dekat dengan wilayah tersebut. Bila yang disekitar wilayah tersebut tidak mampu, kewajiban bisa meluas ke kaum muslimin lain, hingga mencakup seluruh kaum muslim di dunia.
Meskipun demikian, kewajiban berjihad tidak serta-merta berarti berangkat berperang. Bentuk jihad sangat beragam: menolong dengan harta, memberikan dukungan doa, menyebarkan ilmu, atau cara lain yang sesuai dengan ketentuan syariat.
Penjelasan tentang berbagai bentuk jihad insya Allah akan dibahas pada kajian berikutnya. Allāhu a‘lamu biṣ-ṣawāb.

