Lompat ke konten
Layanan dan Program UPZ Abdurrahman Assanad - Abdurrahman As-Sanad Jati Mulur Sukoharjo
Kajian Jumat Muamalah Fiqih Nikah

Kajian Jum’at: Muamalah Sesuai Syariat – Fiqih Nikah

Kajian rutin Jum’at malam, 08 Agustus 2025, Masjid Jami’ Abdurrahman As-Sanad bersama Ustadz Muhammad Kusnan, Lc, pembahasan Mualamah sesuai Syariat – Fiqih Nikah.

Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada tiga orang yang mendatangi rumah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menanyakan bagaimanakah ibadah beliau.

Ketika telah disampaikan kepada mereka, mereka pun merasa bahwa ibadah mereka sangat sedikit, tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Mereka mengatakan, “Di manakah posisi kita dibandingkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Padahal Allah ta’ala telah mengampuni dosa-dosa beliau, baik yang telah berlalu maupun di masa mendatang.

Salah seorang berkata: “Aku akan shalat malam terus-menerus dan tidak tidur.
Yang lain berkata: “Aku akan berpuasa terus-menerus dan tidak berbuka (puasa setiap hari).
Yang lainnya berkata: “Aku akan menjauhi wanita, tidak akan menikah selama-lamanya.

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dan berkata:

أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

“Apakah kalian yang mengatakan demikian dan demikian? Demi Allah, sungguh aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya dibandingkan kalian. Akan tetapi, terkadang aku puasa dan terkadang aku tidak berpuasa; aku salat dan aku juga tidur; dan aku juga menikah dengan wanita. Siapa saja yang membenci sunahku, maka dia bukan termasuk golonganku.” (HR. Bukhari no. 5063 dan Muslim no. 1401)

Faedah Hadits

Ibadah harus Ittiba (mengikuti tuntunan)

Dalam beribadah, semangat saja tidak cukup. Ibadah harus ittiba (mengikuti tuntunan) Nabi ﷺ. Beliau adalah manusia yang paling bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dengan tetap menjalani kehidupan sebagaimana manusia lainnya: beliau makan, tidur, bekerja, dan menikahi wanita. Itulah keseimbangan yang beliau ajarkan.

Meninggalkan perkara yang mubah (boleh) seperti menikah, makan, atau tidur, dengan alasan ingin lebih dekat kepada Allah, bukanlah ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Justru, hal itu termasuk menyelisihi sunnah beliau. Islam tidak mengajarkan untuk memutus diri dari dunia secara total, tetapi mengatur agar dunia menjadi sarana menuju akhirat.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَٱبْتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلْـَٔاخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَآ أَحْسَنَ ٱللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ ٱلْفَسَادَ فِى ٱلْأَرْضِ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلْمُفْسِدِينَ

“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qosos [28]: 77)

Tulisan terkait: Doa Agar Menjadi Hamba yang Selalu Berdzikir, Bersyukur dan Beribadah

Menjaga Hak Allah dan Hak Makhluk

Hak Allah subhanahu wa ta’ala adalah ibadah kepada-Nya semata tanpa syirik (menyekutukan). Sementara hak makhluk mencakup pemenuhan hak diri sendiri, keluarga, tetangga, dan masyarakat yang sesuai dengan ketentuan syariat Islam.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا۟ بِهِۦ شَيْـًۭٔا ۖ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَـٰنًۭا وَبِذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَـٰمَىٰ وَٱلْمَسَـٰكِينِ وَٱلْجَارِ ذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْجَارِ ٱلْجُنُبِ وَٱلصَّاحِبِ بِٱلْجَنۢبِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَـٰنُكُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالًۭا فَخُورًا

“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri.
(QS. An-Nisaa’ [4]: 36)

Begitu pula terdapat dalam riwayat hadits, sebagaimana nasihat Salman kepada Abu Darda radhiyallahu ‘anhuma, yang kemudian dibenarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ

“Sesungguhnya Rabbmu mempunyai hak atasmu, dan dirimu mempunyai hak atasmu, dan isterimu mempunyai hak atasmu, maka berikanlah setiap hak kepada yang berhak (HR. Bukhari no. 1968)

Tidak boleh Ghuluw (berlebihan) dalam beribadah

Ghuluw (berlebih-lebihan) adalah sikap melampaui batas yang ditetapkan syariat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اَلْغُلُوُّ فِي الدِّيْنِ

“Jauhkanlah diri kalian dari ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama, karena sesungguhnya sikap ghuluw ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian“. (HR. Ahmad, an-Nasa’i, Ibnu Majah; shahih menurut Imam an-Nawawi dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah)

Niat baik tidak membenarkan cara yang salah

Dalam Islam, niyyah shāliḥah (niat baik) tidak otomatis menjadikan suatu amalan menjadi shāliḥ dan diterima, jika caranya salah. Syarat amalan diterima ada dua: pertama, ikhlas (tulus) karena Allah; kedua, sesuai sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Orang yang semangat beribadah, tetapi tidak mengikuti tuntunan Rasulullah, maka amalan itu menjadi tertolak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)

Larangan membenci sunnah Nabi ﷺ

Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya soal shalat dan puasa, tetapi mencakup seluruh cara hidup beliau — dalam ibadah, muamalah, keluarga, dan akhlak. Barang siapa raghiba ‘an sunnatī (membenci atau meninggalkan sunnahku), maka ia telah keluar dari jalan beliau.

فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

“Siapa saja yang membenci sunahku, maka dia bukan termasuk golonganku.” (HR. Bukhari no. 5063 dan Muslim no. 1401)

Meninggalkan sunnah dan melakukan apa yang dipersangkakan lebih baik dari sunnah Rasulullah adalah bentuk kesombongan yang berbahaya. Sebaliknya, mencintai sunnah dan berusaha mengikutinya adalah tanda kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Insya Allah akan menjadi sebab bersama beliau di surga. Āmīn. Allāhu a‘lamu biṣ-ṣawāb.