Lompat ke konten
Layanan dan Program UPZ Abdurrahman Assanad - Abdurrahman As-Sanad Jati Mulur Sukoharjo
Ibadah Dan Akhlak Hal Yang Tak Terpisahkan Ust Husein Faqihudin2

Ibadah dan Akhlak: Hal yang Tak Terpisahkan

Setiap amal perbuatan dimotivasi oleh tujuan yang ingin diraih, sekaligus menuntut kesungguhan untuk menghindari hal-hal yang dapat menggagalkan pencapaiannya. Seorang pendaki gunung, misalnya, berjuang menaklukkan medan terjal demi sampai ke puncak. Ia berhati-hati agar tidak tergelincir, salah langkah, atau tersesat, sebab semua itu bisa membuatnya gagal meraih keindahan yang ia dambakan.

Sayangnya, tidak sedikit orang yang rajin beribadah tetapi akhlaknya justru menimbulkan fitnah di tengah masyarakat. Shalatnya tidak pernah tertinggal, kajiannya rutin diikuti, namun lisannya menyakiti, sikapnya merendahkan, dan tindakannya menjadi fitnah. Ini menjadi bahan introspeksi bagi kita semua, ketika kemudian muncul ungkapan di tengah masyarakat: “Lebih baik akhlaknya baik walau ibadahnya kurang, daripada rajin ke masjid dan ngaji tetapi perilakunya buruk.Na‘udzubillāh.

Padahal sejatinya, ibadah dan akhlak bukanlah dua hal yang bisa dipilih salah satunya. Ibadah sejati seharusnya melahirkan akhlak yang mulia, dan akhlak yang baik adalah buah nyata dari ibadah yang benar. Keduanya saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan—ibadah dan akhlak adalah dua sisi yang tak terpisahkan dalam meraih tujuan tertinggi, yaitu ridha Allah subḥānahu wa ta‘ālā.

Tiga Golongan Muslim

Syekh Amru Khalid dalam kitab Akhlāqul Mu’min menjelaskan bahwa seorang muslim terbagi menjadi tiga golongan:

  1. Orang yang ibadahnya bagus tetapi akhlaknya buruk.
    Ia rajin menunaikan ibadah, baik wajib maupun sunnah, tetapi di mata masyarakat ia berperilaku buruk: suka menggunjing, enggan membantu, dan lain-lain. Inilah tipe manusia yang justru menjadi fitnah bagi orang lain.
  2. Orang yang akhlaknya baik tetapi ibadahnya tidak baik.
    Ia dikenal dermawan, suka menolong, dan berbuat baik kepada sesama. Namun, shalatnya sering bolong-bolong, puasa ramadhan-nya tidak penuh, dan ibadah lainnya kerap diabaikan.
  3. Orang yang seimbang antara ibadah dan akhlak.
    Ia baik dalam ibadah sekaligus berakhlak mulia. Inilah tipe yang seharusnya menjadi teladan.

Semoga Allah subḥānahu wa ta‘ālā memberikan kita petunjuk dan pertolongan, memudahkan kita menjadi golongan yang ketiga. Amin.

Ibadah dan Tazkiyah

Perlu kita pahami bahwa tujuan utama ibadah adalah tazkiyah (penyucian diri). Salah satu makna tazkiyah adalah pembinaan akhlak. Allah subḥānahu wa ta‘ālā berfirman:

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ

“Dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (QS. Al-‘Ankabūt: 45)

Ayat ini mengajarkan bahwa shalat seharusnya mencegah kita dari perbuatan tercela. Maka, jika kita sudah menunaikan shalat lima waktu, bahkan ditambah dengan shalat sunnah, hendaknya ketika muncul godaan untuk berbuat buruk kita ingat shalat kita dan berkata dalam hati: “Malu pada shalatku (ibadahku) kepada Allah.” Dengan begitu, kita terhindar dari melakukan keburukan.

Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam menjawab pertanyaan Jibril tentang ihsan: “Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Apabila engkau tidak bisa (beribadah seakan-akan) melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Muslim no. 8)

Shalat yang Diterima

Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda, Allah ta‘ālā berfirman:

يَقُوْلَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى : إِنّمَا اَتَقَبَّلُ الصَلَاةَ مِمَّنْ تَوَاضَعَ بِهاَ لِعِظَمَتِي وَلَمْ يَسْتَظِلُّ بِهَا عَلَى الْخلَقِيْ وَلَمْ يَبِتْ مُصِرًّا عَلَى مَعْصِيَتِيْ وَرَحِمَ الْمِسْكِيْن َوَ ابْنَ السَّبِيْلِ وَ رَحِمَ الْأَرْمَلَةِ وَ رَحْمَ الْمُصَابَ

“Sesungguhnya Aku hanya menerima shalat dari orang yang tawadhu‘ karena keagungan-Ku, tidak berbuat zalim kepada makhluk-Ku, tidak terus-menerus bermaksiat kepada-Ku, serta menyayangi orang miskin, ibnu sabil, janda, dan orang yang tertimpa musibah.” (HR. Az-Zubaidī, 8/352)

Hadis ini menegaskan bahwa shalat yang diterima bukan sekadar ritual, melainkan ibadah yang menumbuhkan sifat rendah hati, menjauhkan dari kezaliman, serta melahirkan kasih sayang kepada sesama. Bila ibadah kita belum melahirkan sifat-sifat itu, seharusnya kita malu kepada shalat kita sendiri.

Tulisan terkait: Doa memohon pertolongan Allah ta’ala agar menjadi hamba yang selalu berdzikir, bersyukur dan beribadah kepada-Nya

Muhasabah (Renungan Introspeksi)

Mari kita bermuhasabah terhadap shalat dan ibadah yang kita lakukan setiap hari. Semoga ibadah tersebut benar-benar membentuk kita menjadi pribadi berakhlak mulia.

Jika ternyata saat ini kita mendapati diri kita belum menjadi pribadi yang baik akhlaknya, padahal kita rajin shalat, maka tanamkanlah rasa malu terhadap shalat dan ibadah kita. Dengan rasa malu itu, insya Allah kita terdorong untuk memperbaiki diri dan menjauhi keburukan.

Sebagaimana seorang mufasir pernah berkata: “Ketika aku ditimpa musibah berat, hingga timbul keinginan untuk mengeluh, aku segera teringat ayat dalam Al-Qur’an, sehingga aku urungkan keluhanku itu.”

Allah ta‘ālā berfirman:

إِنَّ ٱلْإِنسَـٰنَ خُلِقَ هَلُوعًا (١٩) إِذَا مَسَّهُ ٱلشَّرُّ جَزُوعًۭا (٢٠) وَإِذَا مَسَّهُ ٱلْخَيْرُ مَنُوعًا (٢١) إِلَّا ٱلْمُصَلِّينَ (٢٢)

“19. Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah. 20. Apabila ditimpa keburukan ia berkeluh kesah, 21. dan apabila mendapat kebaikan ia amat kikir, 22. kecuali orang-orang yang tetap mengerjakan shalat.” (QS. Al-Ma‘ārij [70]: 19–22)

Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang istiqamah dalam ibadah dan berakhlak karimah. Āmīn.
Wallahu a‘lam semoga bermanfaat…

Pengampu Ta’limul Kitab Ma’had Abdurrahman As-Sanad.

Alumni Mulazamah di Ma’had ‘Aly Darul Wahyain, Magetan.