
Dari Mu’adz radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، أَخَذَ بِيَدِهِ ، وَقَالَ :(( يَا مُعَاذُ ، وَاللهِ إنِّي لَأُحِبُّكَ )) فَقَالَ : (( أُوصِيْكَ يَا مُعَاذُ لاَ تَدَعَنَّ في دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ تَقُوْلُ : اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ ، وَشُكْرِكَ، وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ ))
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang tangan Mu’adz radhiyallahu ‘anhu, lalu bersabda, “Wahai Mu’adz, demi Allah, aku mencintaimu.”
Lalu beliau berkata, “Aku wasiatkan kepadamu, wahai Mu’adz, janganlah engkau sekali-kali meninggalkan doa ini di akhir setiap shalat, ‘ALLOOHUMMA A’INNII ‘ALAA DZIKRIKA WA SYUKRIKA WA HUSNI ‘IBAADATIK (Ya Allah, tolonglah aku dalam berdzikir, bersyukur, dan beribadah yang baik kepada-Mu).’”
(HR. Abu Daud no. 1522 dan An-Nasa’i no. 1304 – Shahih)
Faedah Hadits
Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang tangan sahabatnya, Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, lalu menyampaikan rasa cintanya karena Allah. Setelah itu, beliau memberikan wasiat penting untuk jangan pernah meninggalkan doa ini di akhir setiap shalat. Ini menunjukkan betapa pentingnya doa tersebut untuk diamalkan di akhir setiap shalat, tepatnya sebelum salam.
Mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kita untuk memohon pertolongan kepada Allah agar bisa berdzikir, bersyukur, dan beribadah dengan baik?
Berdzikir (Mengingat) Allah
Berdzikir adalah mengingat Allah dalam setiap keadaan — hadir dalam hati dan pikiran, terucap lewat lisan, serta tercermin dalam amal perbuatan. Dzikir tidak terbatas pada mengucapkan tahlil, tasbih, tahmid, atau takbir, tapi mencakup seluruh ibadah yang dilakukan dengan kesadaran menghambakan diri kepada-Nya — seperti shalat dan amal saleh lainnya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
إِنَّنِىٓ أَنَا ٱللَّهُ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعْبُدْنِى وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ لِذِكْرِىٓ
“Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan laksanakanlah salat untuk mengingat Aku.” (QS. Thaha [20]: 14).
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman:
فَٱذْكُرُونِىٓ أَذْكُرْكُمْ وَٱشْكُرُوا۟ لِى وَلَا تَكْفُرُونِ
“Karena itu, ingatlah kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku” (QS. Al-Baqarah [2]: 152).
Ayat ini bukan sekadar perintah, tapi juga janji: siapa yang mengingat Allah, maka Allah akan mengingatnya — dan itu adalah kemuliaan besar bagi seorang hamba.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Seandainya tidak terdapat fadhilah (keutamaan) dzikir selain yang disebutkan dalam ayat ini, maka telah cukuplah dengan keutamaan yang disebut itu — yaitu menjadi hamba yang diingat oleh Allah.” (Shahih Al-Wabil Ash-Shayyib, hlm. 83).
Diingat oleh Allah bukan hanya berarti diperhatikan, tetapi juga mendapatkan rahmat, penjagaan, pertolongan, ampunan, bimbingan, serta kemuliaan dari-Nya. Hati yang senantiasa berdzikir akan lebih tenang dan tenteram. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ ٱللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ ٱللَّهِ تَطْمَئِنُّ ٱلْقُلُوبُ
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 28)
Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( مَثَلُ الَّذِي يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِي لاَ يَذْكُرُهُ مَثَلُ الحَيِّ وَالمَيِّتِ )) . رَوَاهُ البُخَارِيُّ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan orang yang mengingat Rabb-nya dan yang tidak, bagaikan orang yang hidup dan orang yang mati.” (HR. Bukhari no. 6407)
Bersyukur kepada Allah
Syukur adalah hati yang penuh dengan kesadaran dan pujian kepada Sang Pemberi Nikmat, dan menggunakan nikmat yang telah diberikan dalam ketaatan kepada-Nya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
إِنَّا هَدَيْنَـٰهُ ٱلسَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًۭا وَإِمَّا كَفُورًا
“Sesungguhnya Kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur.” (QS. Al-Insan [76]: 3)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan dalam kitab tafsirnya, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim mengenai ayat ini:
“Dengan kata lain, manusia setelah diberi petunjuk oleh Allah, akan menentukan sendiri jalannya: menjadi hamba yang taat dan bersyukur, atau justru berpaling dan mengingkari nikmat Allah.”
Jangan Sampai Nikmat Menjadi Musibah
Abu Hazim rahimahullah mengatakan:
كُلُّ نِعْمَةٍ لاَ تُقَرِّبُ مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَهِيَ بَلِيَّةٌ
“Setiap nikmat yang tidak digunakan untuk mendekatkan diri pada Allah, itu hanyalah musibah.” (Hilyah Al-Awliya’, 1: 497)
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌۭ
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.”” (QS. Ibrahim [14]: 7)
Beribadah kepada Allah
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56)
Syarat Diterimanya Ibadah
Agar ibadah diterima disisi Allah subahanu wa ta’ala, haruslah memenuhi dua syarat:
- Pertama, harus tulus dan ikhlas karena Allah subhanahu wa ta’ala.
- Kedua, mengikuti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (ittiba’).
Allah subhanau wa ta’ala berfirman:
وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ
“Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan —tulus ikhlas— memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus”
(QS. Al-Bayyinah [98]: 5)
Dalam hadits riwayat Muslim disebutkan,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)
Semoga kita termasuk hamba-hamba yang senantiasa membaca dan mengamalkan doa ini, agar dimudahkan untuk terus mengingat Allah, bersyukur, dan beribadah dengan sebaik-baiknya, ikhlas dan sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Āmīn. Allāhu a‘lamu biṣ-ṣawāb.

