Kajian rutin Jum’at ba’da maghrib, 18 Juli 2025, Masjid Jami’ Abdurrahman As-Sanad bersama Ustadz Abdul Halim, S.Pd, serial Agar Teguh di Jalan Allah subhanahu wa ta’ala.
Empat Pilar penentu kesuksesan Dakwah:
- Dā‘ī (الدَّاعِي) – Pendakwah
- Mad‘ū (المَدْعُوّ) – Sasaran atau objek dakwah
- Mauḍū‘ud Dakwah (موضوع الدعوة) – Materi dakwah
- Asālībud Dakwah (أساليب الدعوة) – Metode atau cara penyampaian dakwah
Sebagai pengingat dari pertemuan sebelumnya, seorang da’i yang ingin dakwahnya berhasil hendaknya memiliki beberapa sifat penting:
- Ikhlas
- Membekali diri dengan ilmu
- Memiliki kesabaran dan istiqāmah
- Menyampaikan dakwah dengan hikmah (kebijaksanaan)
- Memiliki akhlaq yang mulia
- Menjadi teladan dan pelopor dalam kebaikan
Memahami Mad‘ū (Objek Dakwah)
Salah satu aspek penting dalam dakwah adalah memahami mad‘ū, yaitu siapa yang menjadi sasaran dakwah kita. Pemahaman ini sangat membantu dalam menentukan isi materi, metode, serta bahasa penyampaian yang tepat, sehingga pesan dakwah dapat diterima dengan baik dan menyentuh hati.
Pada dasarnya, dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencakup seluruh umat manusia. Sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:
قُلْ يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنِّى رَسُولُ ٱللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا
“Katakanlah -wahai Muhammad-: Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian semua” (QS. Al-A’raf 7:158)
Meskipun dakwah beliau bersifat umum bagi seluruh manusia, Rasulullah tetap memperhatikan kondisi, karakter, dan latar belakang masing-masing objek dakwah. Dakwah bukan sekedar “yang penting” menyampaikan, namun menyampaikan dengan cara dan pendekatan yang tepat agar mudah dipahami dan diterima (tablīgh).
Seorang dā‘i idealnya memahami siapa yang sedang ia ajak: apakah remaja, orang dewasa, atau orang tua? Apakah mereka mayoritas petani, pedagang, atau karyawan? Apakah mereka berlatar belakang awam, terpelajar, atau memiliki tingkat pengetahuan agama tertentu? Semua ini akan memengaruhi pendekatan dakwah agar lebih efektif.
Namun demikian, perbedaan kondisi sasaran dakwah tidak boleh membuat seorang pendakwah bersikap pilih kasih. Setiap objek dakwah memiliki hak yang sama untuk mendapatkan perhatian dan bimbingan. Seorang da’i harus bersikap adil dan bijaksana terhadap siapa pun yang ia dakwahi.
Hal ini ditegaskan dalam sebuah peristiwa penting. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berdialog dengan tokoh-tokoh Quraisy untuk mengajak mereka kepada Islam, datanglah Abdullah bin Ummi Maktūm – seorang sahabat yang buta – untuk meminta diajarkan Al-Qur’an. Rasulullah tampak kurang berkenan dan berpaling darinya, dan Allah subhanahu wa ta’ala kemudian menurunkan Surah ‘Abasa ayat 1–10 sebagai teguran terhadap sikap beliau.
Peristiwa ini mengandung pelajaran yang mendalam: seorang da’i harus adil dalam memperhatikan seluruh objek dakwah, tanpa membedakan berdasarkan status sosial, ekonomi, atau kondisi fisik. Sebab, di sisi Allah subhanahu wa ta’ala, kemuliaan seseorang ditentukan oleh ketakwaannya, bukan atribut duniawi.
Ini menjadi tantangan tersendiri bagi setiap pendakwah — untuk senantiasa sabar, istiqāmah, dan menghadirkan keteladanan dalam dakwahnya.
Dakwah sebagai Rahmat
Dakwah seharusnya menjadi rahmat, bukan sumber kebingungan, konflik, atau perpecahan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَٰلَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu -wahai Muhammad-, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. Al-Anbiya 21:107)
Oleh karena itu, penting bagi seorang dā‘ī untuk menyampaikan dakwah dengan penuh kebijaksanaan serta memperhatikan kesiapan dan kapasitas objek dakwah. Jangan sampai metode atau isi dakwah yang kurang tepat justru menimbulkan kesalahpahaman, penolakan, bahkan fitnah di tengah masyarakat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا أَنْتَ بِمُحَدِّثٍ قَوْمًا حَدِيثًا لَا تَبْلُغُهُ عُقُولُهُمْ إِلَّا كَانَ لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةً
“Tidaklah engkau menyampaikan suatu pembicaraan kepada suatu kaum yang tidak sampai kepada akal mereka (tidak mereka pahami), melainkan hal itu akan menjadi fitnah bagi sebagian mereka.” (HR Muslim dalam Muqaddimah Ṣaḥīḥ Muslim, diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas‘ūd raḥimahullāh)
Demikian pula, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:
حَدِّثُوا النَّاسَ، بما يَعْرِفُونَ أتُحِبُّونَ أنْ يُكَذَّبَ، اللَّهُ ورَسولُهُ
“Bicaralah kepada manusia sesuai dengan apa yang mereka pahami. Apakah kalian ingin Allah dan Rasul-Nya didustakan?” (HR. Bukhari no. 127 pada Fathul Bari).
Maka dari itu, menyampaikan materi dakwah yang sesuai juga merupakan bagian penting dari pilar ketiga dakwah, yaitu: Mauḍū‘ud Dakwah (موضوع الدعوة) – materi dakwah.
Seorang dā‘ī idealnya memiliki keluasan ilmu agar mampu menyampaikan materi yang beragam dengan tepat. Namun pada saat yang sama, ia juga perlu berhati-hati dan tidak menyampaikan sesuatu yang berada di luar batas pengetahuan atau keahliannya. Kehati-hatian ini merupakan bagian dari amanah dalam berdakwah.
Tujuan Dakwah
Tujuan dari dakwah adalah agar objek dakwah menjadi seorang muslim yang kaffah (menyeluruh/seutuhnya) dalam menjalankan ajaran Islam. Seorang muslim yang kaffah adalah ia yang memiliki empat aspek penting dalam dirinya:
- ‘Aqīdah Salīmah (العقيدة السليمة) – Aqidah yang lurus dan benar
- ‘Ibādah Shahīhah (العبادة الصحيحة) – Ibadah yang sesuai tuntunan syariat
- Akhlaq Karīmah (الأخلاق الكريمة) – Akhlak yang mulia
- Mu‘āmalah Ḥasanah (المعاملة الحسنة) – Interaksi sosial yang baik dan benar
Maka seorang da’i minimal menguasai empat pokok ilmu ini: aqidah, ibadah, tazkiyatun nafs (pembersihan jiwa/akhlak), dan mu’amalah (termasuk keluarga, sosial-masyarakat, muamalah jual-beli hutang-piutang, dll). Dengan penguasaan empat bidang ini, insya Allah, dakwah bisa disampaikan secara tepat dan diterima oleh berbagai lapisan masyarakat.
Wallāhu a’lam bish-shawāb.

